• SEJARAH SUBANG

    Seperti halnya daerah lain, wilayah Subang juga telah mengalami berbagai fase sejarah yang unik. Bebagai fase sejarah yang telah dilalui tersebut telah membentuk wajah Subang saat ini...

  • PESONA SUBANG

    Pesona daerah Ciater, Subang, Jawa Barat bukan hanya pemandian air panasnya saja. Keindahan panorama lereng Gunung Tangkuban Perahu menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Menanti munculnya sang fajar adalah waktu yang sangat tepat Anda berkunjung ke sini...

  • MUSEUM WISMA KARYA

    Ulang tahun Subang baru saja berlalu begitu saja, dan tak banyak orang yang tahu catatan sejarah mengapa tanggal itu dijadikan hari lahir kota ini. Padahal, tepat di pusat kota ini, di titik paling strategis di kota ini, hal itu dapat ditelusuri...

  • WONDERFUL SUBANG

    Subang, sebuah kota unik di pesisir utara pulau jawa. Kota ini memiliki landscape yang lengkap mulai deretan pegunungan di sebelah selatan, dataran rendah di tengah dan hamparan pantai di utara jawa (Pantura) di tambah denga kekayaan flora dan fauna yang menakjubkan. Beragam seni budaya yang dimilikinya menjadikan Subang kota yang memilki potensi pariwisata yang besar untuk berkembang...

KENAPA SUKU DI JAWA BARAT DINAMAKAN SUNDA?

Hal ini erat kaitannya dengan adanya gunung raksasa yang berdiri di tengah-tengah wilayah Jawa bagian barat yaitu gunung sunda. Gunung api ini sangat erat kaitannya terhadap kebudayaan sunda. Gunung ini meledak dengan hebat sekitar 50.000 tahun yang lalu. Begitu hebatnya sehingga meninggalkan lubang menganga dengan diameter 5 km. Batuan yang dilemparkannya membendung sungai Citarum dan membentuk danau bandung. lubang menganga bekas letusan tersebut di beri nama kaldera sunda. Di dalam kaldera sunda inilah terbentuk gunung baru, yaitu Tangkuban Parahu. Gunung ini sama halnya dengan anak gunung krakatau yang lahir tahun 1927.
Berdasarkan hasil rekonstruksi gunung sunda diperkirakan setinggi 4000 meter atau lebih tinggi dari pada gunung kerinci yang merupakan gunung tertinggi di Indinesia saat ini.
Penamaan gunung sunda sendiri erat kaitannya dengan letusan gunung tersebut yang selalu mengeluarkan abu berwarna putih yang selalu menutupi tubuhnya sendiri dan daerah disekitarnya. Kata sunda diperkirakan berasal dari bahasa sanskrit "cuddha" yang artinya putih, suci atau bersih. Gunung sunda dan tatar sunda selalu terlihat memutih karena ditutupi abu yang ditebar gunung sunda.
Secara teertulis kata sunda untuk pertama kalinya dikenal pada prasasti tugu, sebagai nama ibukota kerajaan Tarumanagara, Sundapura, yang didirikan Raja Purnawarman tahun 397 M.

LEGENDA SANGKURIANG


Gunung Tangkuban Parahu, Subang

SANGKURIANG LEGEND

Gunung Tangkuban Parahu ibarat benteng pelindung yang menjadi batas terluar yang memisahkan Subang selatan dengan wilayah Bandung. Disinilah legenda abadi yang sarat dengan falsafah hidup orang sunda berasal.


Legenda tersebut berkisah tentang penciptaan danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.
Sangkuriang is a legend among Sundanese people, Indonesia. The legend tells about the creation of lake Bandung, Mount Tangkuban Parahu, Mount Burangrang and Mount Bukit Tunggul.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.


The legend of Sangkuriang was almost certainly a story of oral tradition before being written. The first written reference to Sangkuriang legend appeared in in Bujangga Manik manuscript written in palm leaves coming from the last of the 15th century or the early of the sixteenth century AD. Prince Jaya Pakuan alias Prince Bujangga Manik or prince Ameng Layaran visited all of the holly Hindu sites in Java island and Bali island at the last of the 15th century AD. Using palm leaves, he described his travel in archaic Sundanese. His palm manuscript was taken to England by an Englishmen and put at the Bodleian library, Oxford, in 1627.[1]

Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempat ini beserta legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

After a long journey, Bujangga Manik arrived at current Bandung city area. He is the first eyewitness reported the area. Here is his report:

Leumpang aing ka baratkeun (I walked forward to the west)
datang ka Bukit Patenggeng (arriving at Mount Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (where the legend of Sang Kuriang is)
Masa dek nyitu Ci tarum (in which he would dam Citarum river)
Burung tembey kasiangan (he failed because a new day came)

Berdasarkan legenda tersebut, diceritakan bahwa Raja SUNGGING PERBANGKARA pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun “CARIANG” (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama WAYUNGYANG yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama DAYANG SUMBI alias RARASATI. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima. Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu si TUMANG. Ketika sedang asyik bertenun, TOROPONG (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama SANGKURIANG.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta KEPALA Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah TIMUR akhirnya sampailah di arah BARAT lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terjalinlah kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan PERAHU dan TALAGA (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai CITARUM. Sangkuriang menyanggupinya.

Based on the legend, Sangkuriang had been separated by his mother, Dayang Sumbi, since his childhood. Yet, he was destined to meet his mother again. On his way home, he stopped at a small village and met and felt in love with a beautiful girl. He didn't realise that the village was his homeland and the beautiful girl was his own mother. They loved each other and discussed their wedding plan. One day before the planned wedding, as Dayang Sumbi suddenly saw the scar on the head of Sangkuriang. She realized she had been in love with her own son who had left her twenty years ago. Horror stuck her, how could she marry her own son. She revealed the whole truth and persuade Sangkuriang to forget the marriage. But Sangkuring didn’t believe the truth and insisted at implementing the planned wedding.
Dayang Sumbi set the impossible conditions that she would marry Sangkuriang if he provide her with a great lake by filling the whole valley by water and build a boat for them to sail in, all in one night. Sangkuriang accepted the condition. With the help of some guriangs (heavenly spirit / god in ancient Sundanese belief), he dammed the Citarum river with landslides. The water of the river rose and filled the plain changing it into a lake. A big tree was cut to make a boat.


Maka dibuatlah PERAHU dari sebuah pohon yang tumbuh di arah TIMUR, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung BUKIT TUNGGUL. Rantingnya ditumpukkan di sebelah BARAT dan mejadi Gunung BURANGRANG. Dengan bantuan para GURIANG, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan BOEH RARANG (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di SANGHYANG TIKORO dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung MANGLAYANG. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi GUNUNG TANGKUBANPARAHU.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di GUNUNG PUTRI dan berubah menjadi setangkai BUNGA JAKSI. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan UJUNGBERUNG akhirnya menghilang ke alam gaib (Ngahiyang).

When the dawn was just to come, the boat was almost complete. Dayang Sumbi realized that Sangkuriang would fulfill the condition she had set. Then she prayed to the mighty God to help her preventing the disgrace of a marriage between a mother and a son. With a wave of her supernatural shawl, she lit up the eastern horizon with flashes of light. Deceived by false dawn, cocks crowed and farmers rose for the new day. Sangkuring thought that his endeavour failed. With all his anger, he kicked the boat he was making. The boat felt over and upside down, and it become mount Tangkuban Parahu (in Sundanese, tangkuban means upturned or upside down, and parahu means boat). The file of leftover woods for the boat became Mt. Burangrang and the rest of the big tree became Mount Bukit Tunggul. Meanwhile the lake became lake Bandung (lit. dam).(Indoskripsi)