• SEJARAH SUBANG

    Seperti halnya daerah lain, wilayah Subang juga telah mengalami berbagai fase sejarah yang unik. Bebagai fase sejarah yang telah dilalui tersebut telah membentuk wajah Subang saat ini...

  • PESONA SUBANG

    Pesona daerah Ciater, Subang, Jawa Barat bukan hanya pemandian air panasnya saja. Keindahan panorama lereng Gunung Tangkuban Perahu menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Menanti munculnya sang fajar adalah waktu yang sangat tepat Anda berkunjung ke sini...

  • MUSEUM WISMA KARYA

    Ulang tahun Subang baru saja berlalu begitu saja, dan tak banyak orang yang tahu catatan sejarah mengapa tanggal itu dijadikan hari lahir kota ini. Padahal, tepat di pusat kota ini, di titik paling strategis di kota ini, hal itu dapat ditelusuri...

  • WONDERFUL SUBANG

    Subang, sebuah kota unik di pesisir utara pulau jawa. Kota ini memiliki landscape yang lengkap mulai deretan pegunungan di sebelah selatan, dataran rendah di tengah dan hamparan pantai di utara jawa (Pantura) di tambah denga kekayaan flora dan fauna yang menakjubkan. Beragam seni budaya yang dimilikinya menjadikan Subang kota yang memilki potensi pariwisata yang besar untuk berkembang...

BANGUNAN-BANGUNAN KOLONIAL SUBANG, SAKSI BISU KEKUASAAN KOLONIAL

Untuk mengetahui sejarah suatu kota atau suatu daerah, banyak cara yang dapat ditempuh. Yang paling umum adalah melalui buku atau referensi lainnya, bahkan dari cerita orang-orang tua. Namun, untuk mengetahui dinamika masyarakat pada masa lalu ini dapat juga dilakukan melalui keberadan bangunan-bangunan tua. Berbagai bangunan tua bukan hanya mampu menceritakan bagaimana awal kota ini dibangun. Ya…..bangunan-bangunan tua bersejarah ini menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat masa lalu menjalankan kehidupannya. Juga dapat diketahui bagaimana dinanika sosial ekonomi yang berlangsung pada masa lalu.
Secara umum, berdasarkan kepentingannya, di Subang ini
ciri arsitektur kolonial dapat dibagi dua. Pertama, bangunan-bangunan yang didirikan untuk kepentingan militer. Bangunan-bangunan kolonial ini berada di kawasan Lanud TNI-AU Suryadarma, Kalijati. Dari kompleks ini, yang paling terkenal adalah salah satu rumah dinas perwira yang kini dikenal sebagai Museum Rumah Sejarah. Bangunan ini beserta isinya menjadi saksi bisu kapitulasi (penyerahan kekuasaan) dari pemerintah Hindia Belanda kepada tentara pendudukan Jepang.
Jika anda berkunjung ke Museum Rumah Sejarah, akan tampak meja, kursi, dan beberapa peralatan lain yang menjadi saksi peristiwa dramatis ini. Di dalam bangunan ini konon hanya sepuluh menit perundingan yang ditutup dua kalimat antara Panglima Tentara Hindia Belanda, Jenderal Ter Poorten dan Laksamana Imamura. Imamura : "Apakah tuan bersedia menyerah tanpa syarat?". Ter Poorten : "Saya menerima untuk seluruh wilayah Hindia Belanda." Sejak itulah (9 Maret 1942) seluruh kekuasaan Hindia Belanda beralih ke tentara pendudukan Jepang.
Kedua, bangunan-bangunan yang didirikan untuk kepentingan bisnis perkebunan. Subang dulu memang dikenal sebagai sentra perkebunan. Konon, pad
a masa kolonial di Subang ini, teh, coklat, tebu, dan karet adalah beberapa komoditas yang dieksploitasi pengusaha swasta asing sektor perkebunan (planters) melalui konsesi hak guna lahan. Pamanoekan en Tjiasem Landen (P&T Lands.) adalah perusahaan yang memiliki konsesi areal lahan yang luasnya hampir meliputi wilayah Subang sekarang. P.W. Hofland adalah tokoh sentral usaha komoditas
perkebunan di kawasan ini.




Subang sebenarnya termasuk salah satu tempat yang
paling beruntung karena masih memiliki salah satu saksi sejarah masa lalunya yang bisa dibaca lewat bangunan-bangunan tua khas perkebunan. Melalui salah satu kekayaan itu, orang bisa menelusuri perjalanan sejarah kota dan masyarakat Subang. Dari bangunan-bangunan khas kolonial ini pula, kita bisa membayangkan bagaimana berkuasanya para planters ini dan betapa besar pula aset yang mereka kelola.
Bangunan-bangunan kolonial khas perkebunan ini lebi
h tersebar, walau sebagian besar berada pada sebuah ”kompleks” di kawasan Subang kota. Gedung Wisma Karya adalah ciri paling khas bagaimana kejayaan Subangplanters masa lalu yang konon pula menjadi pesaing para preangerplanters di Bandung. Bangunan yang diresmikan tahun 1929 ini dulu dipakai sebagai sociteit, tempat para meneer beserta para mevrouw-nya berleha-leha sambil main bola sodok atau nonton toneel.
Bila melihat atap gedung Wisma Karya ini, nampak seperti atap aula ITB (aula barat dan aula timur). Menurut almarhum Ir. Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, Bandung, 1986), gaya bangunan dengan atap mirip tipe bangunan ”julang ngapak” ini tidak sepenuhnya diadopsi dari Negeri Belanda, melainkan kombinasi antara gaya Eropa dengan arsitektur tradisional. Hal ini mempertegas pendapat arsitek legendaris Ir. C.P. Wolff Schoemacher yang bahkan menilai bahwa model bangunan ini selain mengadopsi gaya arsitektur Eropa, juga mengadopsi gaya atap bangunan asli Nusantara yang ia namakan gaya arsitektur Indo-Eropa (Koninklijke Nederlandse Oudheidkundige Bond, Bulletin, Jaargang 104, 2005, nummer 6, p. 227).
Sebagai sebuah ”kompleks” pusat sentra perkebunan, tak jauh dari gedung Wisma Karya ini berdiri megah kantor pusat administrasi perkebunan (kini Hotel Subang Plaza), gudang (atelier), perumahan (the big house, Jl. Ade Irma Suryani, perumahan menuju arah Sidodadi dan kompleks bangunan tua di kawasan Cidongkol). Dan jangan lupa, dulu ”kompleks” ini tambah megah dengan hamparan hijaunya padang golf yang kini menjadi alun-alun.
Bangunan-bangunan antik ini juga menjadi saksi bagaimana para pejuang dulu begitu gigih mempertahankan kemerdekaan. Gedung Wisma Karya, misalnya, konon pada tahun 1945-1947 dijadikan markas pasukan Kratibo (Karawang Timoer-Bandoeng Oetara), pimpinan Letkol Sukanda Bratamanggala dan H. Rusdi. Sementara gedung ”The Big House” yang kini terletak di Jl. Ade Irma Suryani Nasution, kala itu menjadi markas pasukan Hizbullah. Gedung lain yang dijadikan markas badan-badan perjuangan adalah Gedung Gede (depan gedung DPRD, telah hancur), Gedung Jeding, Gedung Cipo, dan Gedung Pasanggrahan.
***
Bangunan-bangunan khas perkebunan di Subang ini antara lain juga ditemui di kawasan perkebunan Ciater dan Tambaksari (selatan), perkebunan karet Wangunreja dan gedong satu (barat) serta Sumurbarang (timur). Beberapa gedung tua ini terpelihara dengan baik, terutama yang letaknya tidak jauh dari permukiman. Bangunan-bangunan di afdeling Kasomalang, Wangunreja dan afdeling Ciater adalah beberapa contoh yang relatif terpelihara. Umumnya, gedung-gedung ini dijadikan rumah dinas kepala afdeling ataupun kantor administrasi kebun.
Namun terdapat pula beberapa bangunan yang kondisinya memprihatinkan. Rumah dinas kepala afdeling kebun Bukanagara, Desa Cupunagara, Cisalak misalnya, kini tampak tak terurus. Berada di atas bukit kecil, gedung tua tak berpenghuni ini tampak kusam, beberapa genting bolong-bolong dan beberapa kusen jendelanya hampir copot. Walau dari jauh tampak menarik sebagai sebuah villa, lengkap dengan cerobong tungkunya, tapi dari dekat lebih mirip rumah hantu. Dengan posisi di atas bukit, gedung ini seolah mengawasi areal kebun teh, perumahan karyawan, dan pabrik pengolahan teh yang berada di bagian yang lebih rendah posisinya. Posisi ini mungkin menggambarkan betapa besarnya kekuasaan kepala afdeling tempo doeloe.
Tak ada catatan mengenai kapan bangunan ini dibangun. Menurut penuturan salah seorang sesepuh Dusun Bukanagara, Ana (78 tahun), konon bangunan tersebut dibuat sekitar tahun 1930-1931. “Cenah ceuk kolot-kolot harita mah, jalan nu ngaliwat ka Bukanagara wae dijieunna kira-kira taun 1919-an (kata orang-orang tua dulu, jalan yang melewati Bukanagara saja dibangunnya sekitar tahun 1919-an-red.)”, katanya. Menurut kakek beberapa cucu ini, dulu bangunan kepala afdeling ini sangat terpelihara. Sekarang? “Nya kitu we” (ya, begitulah-red), ungkapnya. Menurut penuturan orang-orang tua dulu, kata Ana, material untuk membangun rumah dinas kepala afdeling Bukanagara ini diangkut dengan padati alias gerobag yang ditarik kuda dari Subang. Bayangkan!

***
Benda atau bangunan benda cagar budaya sesungguhnya bukan saja harus dilindungi, tetapi juga harus bisa dijamin kelestariannya. Di Subang, diakui atau tidak, keberadaan benda-benda cagar budaya sangat rawan berubah, bahkan rawan tergusur karena intervensi kekuatan komersial maupun karena kurangnya dukungan dana. Sebagai kota yang berkembang pesat, Subang dalam 5-10 tahun ke depan dikhawatirkan bukan saja tampil makin gemerlap dan modern, tetapi juga makin seragam, seolah-olah tidak ada lagi kekhasan dan akar sejarah kota yang tersisa. Pelan namun pasti, jangan-jangan benda cagar budaya yang semestinya dilindungi mulai tergusur, dan kawasan yang seharusnya dipertahankan peruntukkannya sebagai kawasan budaya, itu pun tak lagi steril dari pengaruh kekuatan komersial.
Sejauh mana pemerintah, organisasi sosial dan warga Subang ini peduli pada upaya pelestarian bangunan dan benda cagar budaya yang dimiliki. Untuk menjawab pertanyaan ini harus diakui bukanlah hal yang mudah. Sekalipun disadari bahwa eksistensi bangunan dan benda cagar budaya perlu dilindungi dan dilestarikan, tetapi dalam praktiknya tidak selalu keinginan dan harapan mulia itu paralel dengan kenyataan di lapangan. Akselerasi perkembangan kota yang luar biasa cepat dan dominannya pengaruh kekuatan komersial sering menyebabkan pertimbangan pragmatis menjadi lebih menonjol daripada pertimbangan yang idealis.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, upaya pemerintah daerah untuk menginventarisasi dan menetapkan bangunan dan kawasan-kawasan tertentu sebagai benda-benda cagar budaya, bagaimanapun adalah langkah awal yang positif. Cuma masalahnya sekarang, bagaimana menindaklanjuti upaya itu ke upaya perlindungan, pelestarian, dan pengembangannya yang bermanfaat bagi pemerintah kota dan masyarakat. Kalau ini terwujud, pantaslah kita berharap Subang akan menjadi lokasi wisata sejarah, bahkan museum arsitektur. (Sumber : gerbang.jabar.go.id, foto taken from : airologika.multiply.com, deedeecaniago.multiply.com)

SEJARAH SUBANG

Prasejarah
Bukti adanya kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat sederhana.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.

Hindu
Pada saat berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.

Islam
Masa datangnya pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang.

Kolonialisme
Pasca runtuhnya kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha. dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur) yang berkedudukan di Subang.

Nasionalisme
Tidak banyak catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra (karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang. Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan serupa dengan GAPI Pusat.

Jepang
Pendaratan tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.

Merdeka
Proklamasi Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas
pada didirikannya berbagai badan perjuangan di
Subang, antara lain Badan Keamanan Rakyat (BKR),
API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain, banyak di
antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian
menjadi anggota TNI. Saat tentara KNIL kembali
Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya
melalui dua front, yakni front selatan (Lembang)
dan front barat (Gunung Putri dan Bekasi). Tahun
1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di
Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan
atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen
pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi
Gubernur Jawa Barat. Kemudian Kusnaeni
menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat
Kosasih Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni
dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula
Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya
selama Agresi Militer Belanda I, residen tak pernah
jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis
komando pusat. Bersama para pejuang, saat
itu residen bermukim di daerah Songgom, Surian,
dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen
Kosasih Purwanagara meninggalkan Subang dan
pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan
tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim
berita ke wilayah perjuangannya. Hal ini
mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April
1948 di Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah
pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil
Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen
yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta.
2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten
Karawang Timur dengan bupati pertamanya
Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat
menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan
bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten
Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang
dan Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua
wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta
dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama
Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April
1948 dijadikan momentum untuk kelahiran
Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan
melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPR/1977.