• SEJARAH SUBANG

    Seperti halnya daerah lain, wilayah Subang juga telah mengalami berbagai fase sejarah yang unik. Bebagai fase sejarah yang telah dilalui tersebut telah membentuk wajah Subang saat ini...

  • PESONA SUBANG

    Pesona daerah Ciater, Subang, Jawa Barat bukan hanya pemandian air panasnya saja. Keindahan panorama lereng Gunung Tangkuban Perahu menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Menanti munculnya sang fajar adalah waktu yang sangat tepat Anda berkunjung ke sini...

  • MUSEUM WISMA KARYA

    Ulang tahun Subang baru saja berlalu begitu saja, dan tak banyak orang yang tahu catatan sejarah mengapa tanggal itu dijadikan hari lahir kota ini. Padahal, tepat di pusat kota ini, di titik paling strategis di kota ini, hal itu dapat ditelusuri...

  • WONDERFUL SUBANG

    Subang, sebuah kota unik di pesisir utara pulau jawa. Kota ini memiliki landscape yang lengkap mulai deretan pegunungan di sebelah selatan, dataran rendah di tengah dan hamparan pantai di utara jawa (Pantura) di tambah denga kekayaan flora dan fauna yang menakjubkan. Beragam seni budaya yang dimilikinya menjadikan Subang kota yang memilki potensi pariwisata yang besar untuk berkembang...

Perkembangan Sisingaan

a. Asal-usul dan perkembangan

Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.

Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa. Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian, yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris.

Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna). Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama sisingaan.

Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.

Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi/terjajah/tertindas, sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.

Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir, tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.

Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat sekarang ini, cikal bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut dengan singa abrug karena patung singa ini dimainkan dengan cara diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa abrug tersebut digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk pertama kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.

Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.

Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro), namun kemudian berkembang seperti saat ini. Adapun peralatan musik tersebut antara lain:

- 2 buah angklung galimer

- 2 buah angklung indung

- 2 buah angklung pancer

- 2 buah angklung rael

- 2 buah angklung ambrug

- 1 buah angklung engklok

- 1 buah terompet

- 2 buah dogdog lonjor

- 1 buah bedug

- 3 buah terbang

Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.

Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.

Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.

Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.

Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.

Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.

Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.

Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.

Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.

Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik nasional.

b. Fungsi Sisingaan
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.

Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif berdasarkan permintaan.

c. Pertunjukan atau Penyajian Sisingaan
Secara geografis Kabupaten terbagi menjadi tiga kondisi wilayah yakni wilayah pegunungan (tonggoh), wilayah dataran rendah (tengah), dan wilayah pantai (hilir). Secara mendasar letak geografis tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kesenian sisingaan. Hal ini dapat dilihat pada penampilan sisingaan dari tiga daerah tersebut, sisingaan dari daerah pegunungan (tonggoh) dan wilayah dataran (tengah) banyak memiliki kesamaan baik unsur tari, unsur waditra, maupun patung sisingaannya. Namun kalau memperhatikan sisingaan hilir, ketiga unsur tersebut sudah banyak mengalami perubahan. Hal tersebut karena adanya pengaruh masyarakat yang sudah majemuk, sehingga pola pikir masyarakat pesisir lebih terbuka dalam menerima masuknya kebudayaan luar.

Kesenian sisingaan merupakan bentuk ekspresi jiwa masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis alam, hasrat, dan emosi. Hal tersebut berkaitan erat dengan unsur sisingaan yang terdiri dari unsur tari (koreografi), unsur waditra (karawitan), dan sinden (juru kawih), serta unsur seni rupa dan busana pengusung.

d. Unsur Tari
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:

1. Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan antara lain, pasang yaitu bersiap dan memasang kuda-kuda pada saat sisingaan berada di pundak. Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari. Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri. Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian. Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala. Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan tendangan. Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.

2. Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan. Dalam kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu unsur yang harus dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan. Pada saat helaran para pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga kekompakan, saling memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung lainnya. Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik. Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus. Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal. Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.

3. Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik. Dengan demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan ini. Gerak dan tari yang ditampilkan dalam atraksi/demonstrasi antara lain: bubuka gebrag, yakni membuka gerakan dengan cara meloncat dan menggebrak sambil mengangkat sisingaan. Gobyog, yakni gerak naik turun sisingaan, kemudian berlari. Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat. Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang. Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos. Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup. Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif. Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.

e. Unsur Waditra (karawitan) dan Sinden (Juru Kawih)
Unsur waditra atau karawitan yang digunakan dalam sisingaan semakin berkembang, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik. Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.

Waditra yang dipergunakan antara lain:

1. Satu buah gendang indung yang berfungsi untuk memberikan tekanan irama musik.

2. Satu buah gendang kemprang yang berfungsi untuk mengatur irama musik.

3. Dua buah kulanter yang berfungsi untuk mengatur tempo dan satu lagi dipukul diakhir kenongan.

4. Satu buah goong yang berfungsi untuk mengakhiri wiletan.

5. Satu buah kempul yang berfungsi untuk mengisi irama.

6. Tiga buah bonang atau ketuk yang berfungsi untuk mengisi ketukan.

7. Satu buah terompet yang berfungsi sebagai melodi dan mewakili lagu.

8. Satu buah kecrek berfungsi untuk mempertegas tekanan irama.

Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi yang membawakan lagu dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen, kulu-kulu sadunya, gondang.

f. Unsur Seni Rupa dan Busana Pengusung

Unsur seni rupa yang terdapat pada sisingaan semakin hari semakin berkembang, ke arah yang lebih baik, baik dari ukuran maupun bentuknya. Misalnya dalam hal bentuk muka sisingaan, sudah semakin mirip dengan bentuk singa asli, karena bagian muka tersebut dibalut atau ditempel dengan bahan berbulu. Mimik muka juga dibikin semirip mungkin, dengan mulut terbuka seperti singa hendak menerkam mangsa, dengan memperlihatkan taringnya yang tajam. Pewarnaan menggunakan cat juga semakin cemerlang dan menarik.

Sedangkan rambut sisingaan terbuat dari bahan yang mirip dengan bulu singa, baik warna maupun jenis bahannya. Begitu juga dengan badan sisingaan yang sudah menggunakan bahan yang ringan dan kuat serta berbulu seperti singa. Posisi kaki juga sangat bervariasi ada yang seperti berjalan, berdiri biasa, dan ada yang seperti mau menerjang.

Selain itu perubahan juga pada pakaian pengusung dan penabuh alat karawitan. Pada masa lalu busana pemain sangat sederhana, dan tidak seragam. sementara saat ini pakaian sudah diperhitungkan nilai estetisnya, seperti pada baju kampret, celana pangsi, iket, ikat pinggang, sepatu, kaos kaki.

(BPSNT Bandung)

Asal Usul Nama Subang

Sumber-sumber yang dapat dijadikan acuan tentang asal usul nama Subang adalah dari ceritera rakyat (folklor) serta tulisan-tulisan sejarah atau ingatan kolektif masyarakat Subang. Ada beberapa versi tentang asal usul nama Subang, namun sampai saat ini belum ada yang bisa dijadikan sebagai data toponimi daerah Subang.

Berdasarkan pada ceritera rakyat yang ada dan berkembang di tengah masyarakat, kata Subang berasal dari nama seorang wanita seperti tersebut dalam Babad Siliwangi, yakni Subanglarang atau Subangkarancang. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya ceritera atau kisah yang terdapat dalam Babad Pajajaran. Babad Pajajaran mengisahkan bahwa di daerah Karawang terdapat sebuah pesantren yang diasuh oleh Syeh Datuk Quro, pada waktu itu salah satu santri perempuan yang belajar di pesantren tersebut bernama Subanglarang atau Subangkarancang, yang merupakan putri dari Ki Jamajan Jati. Dengan berjalannya waktu putri Subanglarang dipersunting oleh Raden Pamanahrasa yang bergelar Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran, dari hasil perkawinan tersebut lahir dua orang anak yang diberi nama Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang.

Kata Subang juga berasal dari kata Subang yang merupakan nama daerah yang ada di Kuningan. Pada masa beroperasinya perusahaan yang mengelola perkebunan yakni P & T Land yang dipimpin oleh PW. Hofland, yang merupakan orang Belanda penguasa perkebunan karet, kopi, teh, tebu di daerah tersebut. Untuk mengelola perkebunan tersebut diperlukan tenaga kerja yang sangat banyak, maka didatangkan para pekerja dari berbagai daerah antara lain dari daerah Subang Kuningan. Penduduk Subang pada saat itu belum sebanyak saat ini, para pendatang tadi selanjutnya mendirikan sebuah perkampungan atau pemukiman di sekitar pabrik yang kemudian dikenal dengan nama Babakan atau Kampung Subang, sesuai dengan nama asal tempat tinggal mereka.

Versi lain dari ceritera rakyat mengatakan bahwa kata Subang berasal dari kata Suweng. Suweng merupakan istilah untuk menyebut perhiasan yang dipakai wanita di daun telinganya, atau biasa disebut juga dengan kata anting. Sementara itu ada yang berpendapat bahwa kata Subang berasal dari kata Kubang, berdasarkan pada ceritera rakyat dikisahkan bahwa di daerah Subang tepatnya di daerah Rawabadak terdapat kubangan atau rawa tempat mandi badak. Kemungkinan adanya hewan badak di daerah Subang secara ilmiah belum ada bukti artefak yang ditemukan, namun di masa Subang purba hal tersebut mungkin saja terjadi. Sementara itu pendapat tentang kata Suweng dan Kubang mungkin hanyalah kekurangjelasan dalam melafalkan atau mengucapkan kata tersebut.

(Drs. T. Dibyo Harsono, M. Hum.)

Genjring Bonyok

Kesenian genjring Bonyok memiliki corak kehidupan dan perkembangan yang agak berbeda dengan kesenian lain yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Pagaden kabupaten Subang. Kesenian mampu berkembang lebih cepat, mendapat popularitas lebih cepat dan diterima oleh masyarakat sebagai kesenian tradisional miliknya sendiri yang dapat dinikmati.

Pengertian Genjring Bonyok asal mula dari Genjring dan Bonyok. Genjring adalah waditra berkulit yang memakai semacam anting-anting terbuat dari besi atau perunggu sebagai penghias seperti rebana. Sedangkan Bonyok adalah nama daerah di desa Pangsor Kecamatan Pagaden Kabupaten Subang. Genjring bonyok artinya kesenian Genjring yang awal mulanya berada di daerah Bonyok. Kesenian merupakan salahsatu jenis seni musik tradisional (karawitan) yang alat musiknya terdiri dari Genjring, Bedug, Kecrek, Tarompet dan Goong.

Pertumbuhan dan perkembangan kesenian ini tidak lepas dari keadaan lingkungan masyarakat penduduknya. Maksudnya semakin meningkat kehidupan masyarakat, pengalaman estetis masyarakat dan semakin banyak munculnya pemahaman-pemahaman baru tentang Genjring Bonyok akan berpengaruh besar terhadap eksistensi kesenian tersebut. Jauh sebelum Genjring bonyok lahir, di kampung Bunut Desa Pangsor Kecamatan pagaden telah ada kesenian genjring yang dipimpin oleh Sajen. Kesenian merupakan cikal bakal lahirnya Genjring Bonyok.

Keberadaan Genjring Bonyok erat hubungannya dengan perjalanan hidup Sutarja yang telah bermain dengan Genjring sejak tahun 1963. Waktu itu ia bermain genjring bersama rombongan Genjring yang dipimpin oleh Sajen (pamannya). Dalam rombongan tersebut ia memegang genjring nomor 1 yang merupakan komando bagi alat musik lainnya. Karena Sajen sudah tidak sanggup lagi untuk memimpin rombongan kesenian tersebut, maka sejak tahun 1965 kepemimpinan rombongan kesenian tersebut diserahkan kepada Sutarja.

Sutarja dan kawan-kawan sering mengadakan pertunjukan di Pusaka Nagara dan pamanukan. Di daerah tersebut Sutarja sering melihat pertunjukan Adem ayem yang perangkat musiknya sama dengan kesenian genjring yang dipimpin oleh Sutarja yaitu tiga buah genjring dan sebuah bedug. Perbedannya musik adem Ayem yang lebih dinamis dan komunikatif dengan menyajikan lagu-lagu untuk mengiringi tarian dan atraksi akrobatik, sedangkan pertunjukan kesenian yang dipimpin oleh Sutarja waktu itu hanya menyajikan lagu-lagu seperti Siuh, Gederan dan Gotrok.

Terinspirasi oleh musik adem ayem tersebut muncul keinginan Sutarja untuk mengembangkan seni genjring yang dipimpinnya. Disusunlah motif-motif tabuh genjring yang mirip dengan genjring adem ayem. Demikian juga lagu-lagu yang disajikannya dipakai lagu-lagu Adem ayem dan tarompet sebagai pembawa melodi dan goong sebagai pengantar wiletan. Sekitar tahun 1968, terbentuklah kesenian genjring Baru dengan garapan musikalnya berbeda dengan genjring sebelumnya. Menurut keterangan beberapa narasumber, pada awalnya masyarakat Pagaden menyebut kesenian ini genjring Bonyok. Disebut demikian karena dalam pementasan penarinya selalu banyak dan dalam menarinya ngaronyok (berkumpul). Dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menyebut kesenian Genjring Bonyok karena menganggap kesenian tersebut lahir di daerah Bonyok. Baru-baru ini muncul sebutan yang lain yaitu Tardug. Tardug merupakan akronim dari Gitar dan beduh. Kesenian tardug sebenarnya genjring bonyok juga, hanya alat musiknya ditambah gitar melodi untuk mengiringi lagu dangdutan.

Di awal perkembangannya Genjring Bonyok menggunakan alat musik yang relatif sederhana yaitu tiga buah genjring, tarompet dan bedug. Ketiga genjring tersebut memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Perbedaannya hanya tinggi rendahnya bunyi genjring tersebut.

Bunyi yang dihasilkan genjring biasanya bunyi pong, pang, ping dan bunyi pak bum. Untuk menghasilkan bunyi pong dengan cara menepak bagian pinggir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi pang dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir genjring (lebih ketengah sedikit dari cara membunyikan pong) menggunakan sebagian telapak tangan dan menepuknya dilepas. Bunyi ping dihasilkan dengan cara menepuk bibir genjring menggunakan beberapa ujung jari tangan menepuknya dirapatkan. Bunyi pak dihasilkan dengan cara menepuk bagian pinggir atau tengah genjring menggunakan telapak tangan penuh, menepuknya agak ditekan.

Materi lagu yang disajikan dalam pertunjukan genjring bonyok tidak terbatas pada lagu-lagu ketuk tilu, adem ayem atau lagu-lagu yang berirama japlin saja tetapi juga disajikan lagu-lagu dangdut seperti lagu-lagu Lanang Sejati, Rindu berat, Neng Yeni, Pemuda Idaman, tembok Derita dan lain-lain. Selain itu sering disajikan pula lagu-lagu jaipongan. Lagu-lagu tersebut disajikan dalam bentuk paduan antara karawitan, vokal dan karawitan instrumentalia. Dalam bentuk penyajiannya, kesenian ini tidak hanya dipertunjukan dalam bentuk helaran (arak-arakan) tetapi dipertunjukkan juga diatas panggung. Pertunjukan diatas panggung biasanya dilaksanakan pada acara hiburan, baik hiburan hajatan, peringatan hari-hari besar, maupun hiburan di tempat-tempat wisata. Pertunjukan gelaran biasanya pada acara mengarak anak sunat keliling kampung bersama-sama dengan kesenian sisingaan.(Sunda.Net)

HATCHER BURU HARTA KARUN DINASTI MING DI BLANAKAN SUBANG

Jakarta - Pemburu harta karun Michael Hatcher kini beraksi di perairan Blanakan, Subang, Jawa Barat. Hatcher mengincar ribuan porselen peninggalan dinasti Ming. Sebuah piring atau mangkuk porselen berharga US$ 10 hingga US$ 20 ribu. Nilai totalnya US$ 200 juta, luar biasa.

Hal ini terungkap dalam video promosi yang digunakan Hatcher untuk menarik minat para donatur di AS dan Eropa. Video tersebut menunjukan aktivitas Hatcher di perairan Blanakan. Hatcher tampak memantau posisi kapal tenggelam dengan Sonar, setelah itu dia menyelam ke laut. Beberapa pribumi tampak membantu Hatcher.

Video tersebut diputar Konsorsium Penyelamat Aset Bangsa (KPAB) dalam jumpa pers di Hotel Sofyan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/4/2010).

Dalam video itu, Hatcher tampak menunjukan hasil buruannya. Beberapa piring dan mangkuk dibawanya naik ke kapal. Lalu dengan video bawah air, dia menunjukkan ribuan keramik yang belum berhasil diangkat. Jumlahnya ribuan. Calon donatur dibuat kesengsem dengan penjelasan teks, sebuah porselen harganya mencapai US$ 10 hingga US$ 20 ribu di pasaran.

KPAB pun mengecam perburuan Hatcher. Saat melakukan penyelaman itu, Hatcher sama sekali belum mengantungi izin survei.

Keanehan yang lain, Pangkalan Utama TNI AL III Cirebon mengabulkan permintaan agar 2 kapal milik PT Comexindo Usaha Mandiri yang disita tanggal 1 Juli 2009 dipinjam kembali. Padahal kedua kapal ini disita karena melakukan pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) dan berstatus barang bukti.

Pemilik kapal ini sebenarnya adalah Kiyoshi Makatsuka, hanya diatasnamakan pada Suwanda, tangan kanan Hatcher.

"Hal ini harus diusut," ujar Direktur Inside, M Danial Nafis, dalam jumpa pers tersebut.
(rdf/mok/detiknews)

SUBANG, (PRLM),- Suara gamelan yang mengiringi tembang Sunda terdengar membahana dari setiap sudut Subang Kota, Rabu (28/4). Iring-iringan penari berpakaian warna-warnai khas Sunda pun terlihat menyertai sejumlah kelompok seni gotong singa (sisingaan-Red) memadati ruas jalan utama di kota yang berjuluk Kota Nenas tersebut.

Tak pelak lagi, tari dan gemelan yang terdengar sejak Rabu pagi hingga petang itu membuat masyarakat sekitar penasaran. Mereka berkerumun untuk menyaksikan dari dekat sejumlah rombongan Seni Sisingaan yang unjuk kebolehan di hadapan para inohong (pejabat-Red) Subang.

Iring-iringan rombongan Seni Sisingaan yang tampil secara serempak membuat Kota Subang terasa semarak. Bahkan, Subang yang bisanya lengang, sepanjang Rabu kemarin begitu bising oleh bunyi gamelan. Kemacetan pun terjadi di ruas jalan Otista, A, Yani dan Dewi Sartika.

Namun demikian, kondisi tersebut tak membuat masyarakat gusar. Mereka bahkan dengan antusias menyaksikan Festival, Helaran, dan Tutunggulan Seni Gotong Singa tingkat Jawa barat digelar pihak Pemkab Subang sekali dalam setahun tersebut. Dalam acara itu sedikitnya, 23 rombongan kesenian Sisingaan ikut ambil bagian dalam festival tersebut.

“Ini festival rakyat yang membanggakan urang Sundan. Murah tapi sangat meriah,” kata seorang mahasiswa Universitas Subang, Dadang Nurjaman, yang menyaksikan atraksi atraktif para penggotong Sisingaan, Rabu (28/4). Setiap rombongan tampil dihadapan para dewan juri yang berasal dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, budayawan dan seniman serta akademisi di Subang.

Setelah menjalani penilaian, rombongan kesenian Sisingaan diwajibkan mengikuti karnaval keliling kota dengan disaksikan ribuan pasang mata yang memadati sepanjang jalan protokol kota Subang. Setiap rombongan wajib menyelesaikan karnaval hingga halaman Wisma Karya.

Ketua Panitia Festival Sisingaan, Warman S. menyebutkan, Helaran, Tutunggulan, dan Festival kesenian tradisional tersebut merupakan kali yang ketiga. “Kami telah menjadikannya sebagai agenda pariwisata tahunan. Kami berharap tahun depan festival ini bisa masuk dalam rekor MURI,” kata Warman.

Di tempat yang sama Bupati Subang, Eep Hidayat mengatakan, pihakanya dalam waktu dekat bakal mematenkan kesenian tradisional Sisingaan sebagai seni khas asli Subang. “Paling lambat tahun depan harus sudah dipatenkan,” kata Eep Hidayat.

Menurut dia, keinginan untuk mematenkan kesenian Sisingaan itu sebagai upaya membentengi diri sejak dini dari upaya jahat aksi para plagiator. Pasalnya, saat ini sejumlah kesenian khas daerah tengah diincar oleh negera lain dan diklaim sebagai kesenian asal negara mereka.

Disebutkan, Seni Sisingaan merupakan hasil daya cipta dan karya besar para seniman Subang jaman dahulu. Kesenian tersebut ternyata bisa bertahan hingga sekarang, bahkan terus berkembang dengan pesat.

Eep mengatakan pula, Seni Sisingaan lahir sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Inggris yang membonceng kepada Belanda dan menguasai seluruh wilayah perkebunan di Kabupaten Subang pada zaman prakemerdekaan. “Lambang Inggris adalah Singa, maka si Singa akhirnya ditunggangi dan dikendalikan anak kecil yang menungganinginya,” kata Eep. (A-106/kur/pikiranrakyat)