SELAMA ini Subang sangat identik dengan buah nanas, sehingga ada anggapan tak lengkap berkunjung ke Subang jika tak mencicipi nanas. Namun sebenarnya Subang tak hanya memiliki produk andalan berupa nanas semata. Ada produk makanan lain yang tak kalah lezatnya. Salah satunya adalah kerupuk miskin.
Menurut salah satu pengusaha kerupuk miskin di Kecamatan Purwadadi, Khadijah, embel-embel miskin pada nama kerupuk diambil dari cara menggorengnya yang tak menggunakan minyak. Maklum saja, saat digoreng, kerupuk miskin hanya memanfaatkan pasir sebagai pengganti minyak goreng.
"Karena menggunakan pasir itulah, kerupuk ini dinamai kerupuk miskin. Mungkin karena kesannya pasir lebih murah ketimbang minyak goreng," ujar Khadijah, Selasa (14/9/2010).
Padahal, kata Khadijah, pasir yang digunakan untuk menggoreng kerupuk bukan pasir sembarangan. Pasir tersebut berasal dari pantai, dan sudah dibersihkan terlebih dulu. Dengan demikian, pasir pun tak akan menempel pada kerupuk saat proses penggorengan.
Selain itu, untuk bisa memperoleh pasir tersebut, para pengusaha kerupuk membelinya dari pihak lain, bukan memungut begitu saja. Dengan begitu, ada ongkos yang harus dikeluarkan, sama seperti ketika harus memperoleh minyak goreng.
Karena menggunakan pasir, kerupuk yang dihasilkan memiliki citarasa tersendiri. Baunya lebih harum dan rasanya pun lebih gurih.
Yang tak kalah penting, kerupuk miskin ini tahan lebih lama. Sebab tidak mudah apek karena tak mengandung minyak. "Selain itu juga tanpa kolesterol, jadi lebih sehat," kata Khadijah.
Sebenarnya tak ada yang istimewa dari kerupuk miskin ini, kecuali cara menggorengnya yang menggunakan pasir. Sebab dari segi bahan dan bumbu sama seperti bahan kerupuk pada umumnya. Menggunakan tepung kanji atau tepung singkong, bawang merah, bawang putih, garam, penyedap rasa dan pewarna makanan.
"Semua bahan dicampur dalam adonan. Setelah itu adonan dikukus hingga matang, dan barulah dibuat kerupuk dengan bentuk sesuai keinginan," kata Khadijah.
Biasanya ada dua bentuk kerupuk yang ditawarkan. Berbentuk pipih persegi panjang seperti lidah, dan ada pula yang berbentuk seperti pensil.
Sementara warna yang dipilih beraneka ragam. Merah, putih, dan kuning. Tiga warna tersebut harus ada karena saat pengepakan terakhir biasanya dicampur satu sama lain. "Tapi ada juga yang hanya menggunakan dua warna, merah dan putih. Tapi lebih bagus kalau tiga warna," kata Khadijah.
Setelah dibentuk, kerupuk setengah jadi akan dijemur di bawah terik matahari hingga benar-benar kering. Setelah itu barulah digoreng, atau istilah orang Sunda disangrai dengan menggunakan pasir.
Jika sudah matang dan siap disajikan, kerupuk langsung dibungkus plastik. Biasanya satu plastik ukuran sedang dijual Rp 5.000-Rp 8.000 sementara satu plastik kecil Rp 1.000.
Kerupuk miskin ini mudah diperoleh di kios-kios pinggir jalan di jalur tengah Subang-Sadang atau Pantura Subang. Apalagi di saat musim mudik dan balik lebaran kali ini, banyak kios dadakan yang menjajakan penganan ringan ini.
Penasaran ingin mencicipi? Bertandang ke Subang saat hari libur ini tak ada salahnya. Apalagi jika langsung ke sentra produksi kerpuk miskin di daerah Kecamatan Purwadadi, bukan cuma mencicipi, tapi bisa melihat bagaimana menggoreng krupuk dengan pasir. (Tribun Jabar/Ida Romlah)
0 komentar:
Posting Komentar