Tatar pasundan memang pantas disebut tanah parahyangan, keindahan
yang dimilikinya memang pantas menjadikannya rumah para dewa
(parahyangan). Kepingan keindahan itu dapat kita nikmati di Curug
Cijalu, Subang Jawa Barat.
Wana Wisata Curug Cijalu berada dalam kawasan cagar alam Gunung
Burangrang termasuk KPH Bandung Utara. Kawasan wisata ini berada pada
ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Menurut warga sekitar,
jika hari cerah dari ketinggian kawasan tersebut kita bisa melihat kota
Subang, kota Purwakarta dan Waduk Jatiluhur.
Curug Cuijalu memiliki ketinggian sekitar 70 meter. Tumpahan airnya
mengalir deras membelah bukit di kawasan gunung Burangrang jatuh ke
kolam yang berada di dasar curug. Para pengunjung biasanya bermain-main
air di kolam tersebut. Namun, karena suhu airnya yang sangat dingin para
pengunjung biasanya tak berlama-lama bermain air.
Menurut cerita masyarakat sekitar, dahulu nama curug ini adalah curug
Cikondang. Hingga suatu waktu ada seorang pendekar yang datang dan
menetap di sana. Konon, menurut masyarakat pendekar tersebut memiliki
taji (jalu) hingga kemudian nama curug tersebut dikenal dengan nama
curug Cijalu.
Di kawasan ini masih terdapat 2 curug lainnya, yaitu curug Putri /
Perempuan dan curug Cilemper. Curug Putri berada 100 meter dari curug
Cijalu. Curug ini dahulu dinamakan curug Cibuntu, namun sekarang lebih
dikenal dengan curug Putri / Perempuan.
Masyarakat mengibaratkan kedua curug yang berdekatan ini seperti
sepasang kekasih. Curug Cijalu dianggap curug “laki-laki” (dalam bahasa
sunda jalu artinya laki-laki) sedangkan curug Cibuntu sebagai
“perempuan”nya. Curug ini tingginya hanya sekitar 30 meter. Meskipun tak
terlalu tinggi namun curug ini begitu cantik, sesuai dengan namanya.
Aliran air mengalir perlahan mengikuti tebing batu, menjadikan curug ini
begitu eksotis di depan kamera.
Curug lainnya bernama curug Cilemper. Curug ini berada sekitar 500
meter dari curug Cijalu. Curug Cilemper lebih tinggi dari curug Cijalu
yaitu sekitar 100 meter, debit airnya pun lebih besar. Namun karena
letaknya yang tersembunyi dan jalan menuju curug ini cukup terjal
sehingga tak banyak pengunjung yang sampai ke curug ini.
Belum puas menikmati keindahan kawasan curug di siang hari, pengunjung juga bisa menikmati suasana malam dengan camping di kawasan tersebut. Nikmati sensasi menginap ditengah hutan, ditemani gemuruh suara aliran air curug yang menghantam bebatuan.
Kawasan curug Cijalu sudah dibuka sejak 1 September 1984. Menurut
warga sekitar, dahulu banyak keturunan Tionghoa yang berkunjung kesini
untuk berdoa. Mereka menganggap curug ini tempat mandinya para bidadari.
Kawasan wana wisata curug Cijalu secara administratif masuk ke
wilayah Desa Cipancar, Kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa
Barat. Curug ini dapat dicapai dari Kota Subang sekitar 37 Km ke arah
selatan, atau sekitar 63 Km dari kota Bandung ke arah utara. Sedangkan
dari kota Purwakarta, curug ini sekitar 40 Km ke arah selatan.
Dari Jalan Raya Wanayasa – Jalan Cagak Anda akan menemukan gerbang
Kawasan Wisata Cijalu di daerah Serang Panjang. Kemudian Anda harus
menyusuri jalan desa sepanjang 3 Km. Suasana pedesaan khas tanah
pasundan dan hamparan kebun teh akan menyambut Anda sebelum memasuki
wana wisata curug Cijalu.
Artikel ini terdapat pula di www.palingindonesia.com
Saya begitu terhanyut ketika pertama kali mendengar alunan suara alat
musik tradisional ini. Alunan suaranya sedikit mirip Saxophone,
tak terlalu melengking seperti suling tetapi terdengar lebih lembut
sehingga memberikan kesan ketenangan bagi siapapun yang mendengarnya.
Nada yang ditimbulkannya bisa begitu harmonis mengikuti alat musik sunda
yang lain, seperti celempung ataupun gembyung yang musiknya lebih
dinamis.
Namanya toleat, sebuah alat musik tiup yang terbuat dari bambu mirip
dengan suling, tapi nada yang dihasilkannya berbeda. Siapa sangka, alat
musik ini merupakan master piece anak gembala di pantura Subang, Jawa Barat yang merupakan daerah pertanian yang luas.
Namanya Parman, awalnya beliau terinspirasi oleh mainan yang biasa
dibuat anak-anak ketika menggembalakan ternak mereka disawah. Mainan
yang berupa alat musik tiup tersebut mereka namakan sesuai bunyi yang
ditimbulkannya, yaitu “Empet-empetan” dan “Ole-olean”.
Ketika panen padi tiba, biasanya mereka membuat “Empet-empetan” dari
potongan batang padi sisa panen. Sedangkan ketika musim padi usai ,
karena tidak ada batang padi maka mereka membuat alat musik lain, yaitu
“Ole-olean” yang terbuat dari pelepah pohon papaya.
Karena bahan yang digunakan untuk membuat alat musik tersebut cepat
rusak, kemudian Parman mencari bahan lain untuk membuatnya. Awalnya
Parman menggunakan bahan dari ujung bambu dan lidahnya (peniupnya)
terbuat dari kayu pohon berenuk yang dililit rotan.
Pada perkembangan selanjutnya Toleat dibuat dari bambu tamiang dan di
beri lubang – lubang seperti halnya suling, sehingga menimbulkan banyak
nada. Yang membedakannya dengan suling adalah bagian peniupnya yang
terbuat dari kayu pohon berenuk.
Awalnya Toleat hanya berfungsi sebagai alat hiburan pribadi yaitu
untuk mengusir jenuh ketika menggembalakan ternak. Tak ada lagu khusus
yang dimainkan oleh anak gembala, hanya mengandalkan keunikan bunyi yang
ditimbulkan dari alat musik tersebut.
Saat ini Toleat telah menjadi bagian dari seni pertunjukkan. Bukan
hanya di Subang, tapi juga di wilayah Jawa Barat bahkan pernah
dipentaskan di manca negara. Alat musik ini dapat dengan harmonis
dipadukan dengan alat musik tradisional yang lain seperti kacapi,
gamelan, gembyung, karinding, celempung dan lain-lain. Bahkan bisa juga
dimainkan bersama alat musik modern seperti keyboard bahkan orchestra
sekalipun.
Alat musik yang merupakan masterpiece dari anak gembala ini telah menambah khasanah musik Indonesia. Tugas warga Indonesia untuk melestarikannya.
Artikel ini dapat juga dibaca di www.palingindonesia.com