Semua anak di Indonesia mungkin sudah tidak asing dengan yang namanya
Odong – odong. Namun tahukah Anda dari mana asal mulanya?. Setelah
ditelusuri ternyata pada mulanya Odong – odong merupakan sebutan lain
dari kesenian Sisingaan, seni tradisional yang berasal dari Subang, Jawa
Barat.
Tak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan kesenian ini.
Menurut Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Bandung,
kesenian ini diperkirakan sudah mulai muncul sekitar tahun 1840 ketika
masa penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu meskipun secara politis
wilayah Subang dalam kekuasaan Belanda namun secara ekonomi Subang di
kuasai oleh Inggris melalui perusahaan perkebunan P & T Lands
(Pamanoekan en Tjiasemlanden) yang menguasai hampir seluruh wilayah
Subang.
Saat itu masyarakat Subang mendapat tekanan secara politik, ekonomi
sosial dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Untuk melakukan
perlawanan, mereka tidak hanya melakukannya secara fisik tetapi juga
melalui bentuk kesenian Sisingaan. Kesenian ini merupakan bentuk
ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan
dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah.
Secara filosofis para pengusung Sisingaan melambangkan masyarakat
pribumi yang tertindas / terjajah. Sepasang patung Sisingaan
melambangkan penjajah Inggris dan Belanda. Nayaga melambangkan
masyarakat yang berjuang dan memberi semangat kepada generasi muda untuk
dapat megusir penjajah dari daerah mereka. Sedangkan anak kecil
penunggang singa melambangkan generasi muda yang suatu saat bisa
mengusir penjajah. Anak kecil penunggang Sisingaan yang biasanya
menjambak rambut Sisingaan merupakan salah bentuk ekspresi kebencian
kepada kaum penjajah.
Dengan menggunakan simbol – simbol dalam Sisingaan tersebut
masyarakat Subang bisa mengekspresikan perasaan mereka secara
terselubung tanpa di curigai oleh para penjajah. Bahkan para penjajah
malah merasa bangga karena lambang negara mereka (singa) dijadikan
sebagai bentuk kesenian rakyat. Padahal kesenian itu merupakan simbol
perlawanan terhadap mereka.
Pada zaman dahulu sisingaan dibuat dengan sangat sederhana, bagian
kepala sisingaan terbuat dari kayu, rambut terbuat dari bunga atau daun
kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka
(anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung karung goni atau
terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan
sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Saat ini
bentuk sisingaan sudah dibuat semirip mungkin dengan bentuk singa asli.
Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat
musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro).
Sekitar tahun 1968 mulai dimasukkan unsur ketuk tilu dan silat. Hal ini
dapat dilihat dari penggabungan waditra yakni adanya tambahan dua buah
gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah
kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek namun
kemudian berkembang seperti saat ini.
Pada awalnya gerakannya para penarinya pun masih sangat sederhana dan
dilakukan secara spontan. Demikian juga dengan busana yang dikenakan
para penarinya. Pada mulanya para penari Sisingaan hanya mengenakan
kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Namun sekarang baik
gerakan tari maupun busana telah mengalami perkembangan tanpa
meninggalkan kesan tradisionalnya.
Selain itu seiring dengan perkembangan zaman fungsi Sisingaan juga
semakin luas. Pada awal terbentuknya kesenian Sisingaan terbatas hanya
untuk sarana hiburan pada saat khitanan seorang anak, dengan cara
melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian
Sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi
penyambutan tamu terhormat atau acara seremonial lainnya.
Saat ini kesenian Sisingaan sudah sangat dikenal tidak hanya di
daerah Subang saja. Di daerah sekitar kabupaten Subang pun bermunculan
grup – grup seni Sisingaan. Penyebutan nama kesenian ini kadang berbeda
di setiap daerah, ada yang menyebutnya odong-odong, citot, kuda depok,
kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa atau singa depok.
Masyarakat pesisir pantura Jawa Barat biasanya menyebutnya dengan
Odong – odong. Kesenian ini kemudian menjadi cikal bakal odong – odong
yang sangat digemari anak – anak saat ini. Odong – odong yang asalnya
diusung kemudian mengalami modifikasi dengan dipasangkan pada badan
becak. Hingga akhirnya bentuk Sisingaan yang dipasang pada becak justru
yang dimodifikasi menjadi bentuk lain, seperti bentuk kuda-kudaan hingga
bentuk komidi putar, namun tetap menggunakan istilah Odong – odong.
Kabupaten Subang sebagai daerah asal Sisingaan sangat gencar
mempromosikan kesenian ini. Setiap tahun di daerah ini di gelar festival
Sisingaan. Bahkan pada bulan Pebruari 2012 digelar pemecahan rekor MURI
Sisingaan dengan jumlah penari terbanyak. Semoga kesenian yang sarat
akan makna perjuangan ini akan tetap dicintai masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar