• SEJARAH SUBANG

    Seperti halnya daerah lain, wilayah Subang juga telah mengalami berbagai fase sejarah yang unik. Bebagai fase sejarah yang telah dilalui tersebut telah membentuk wajah Subang saat ini...

  • PESONA SUBANG

    Pesona daerah Ciater, Subang, Jawa Barat bukan hanya pemandian air panasnya saja. Keindahan panorama lereng Gunung Tangkuban Perahu menambah daya tarik wisatawan untuk datang ke tempat ini. Menanti munculnya sang fajar adalah waktu yang sangat tepat Anda berkunjung ke sini...

  • MUSEUM WISMA KARYA

    Ulang tahun Subang baru saja berlalu begitu saja, dan tak banyak orang yang tahu catatan sejarah mengapa tanggal itu dijadikan hari lahir kota ini. Padahal, tepat di pusat kota ini, di titik paling strategis di kota ini, hal itu dapat ditelusuri...

  • WONDERFUL SUBANG

    Subang, sebuah kota unik di pesisir utara pulau jawa. Kota ini memiliki landscape yang lengkap mulai deretan pegunungan di sebelah selatan, dataran rendah di tengah dan hamparan pantai di utara jawa (Pantura) di tambah denga kekayaan flora dan fauna yang menakjubkan. Beragam seni budaya yang dimilikinya menjadikan Subang kota yang memilki potensi pariwisata yang besar untuk berkembang...

Perkembangan Sisingaan

a. Asal-usul dan perkembangan

Kesenian Sisingaan adalah jenis kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Subang, kesenian ini mempunyai ciri khas atau identitas sepasang patung sisingaan atau binatang yang menyerupai singa.

Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa. Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian, yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris.

Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna). Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama sisingaan.

Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.

Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi/terjajah/tertindas, sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang nantinya harus mampu mengusir penjajah, nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.

Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir, tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat. Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.

Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat sekarang ini, cikal bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut dengan singa abrug karena patung singa ini dimainkan dengan cara diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa abrug tersebut digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk pertama kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.

Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.

Waditra pada masa itu sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro), namun kemudian berkembang seperti saat ini. Adapun peralatan musik tersebut antara lain:

- 2 buah angklung galimer

- 2 buah angklung indung

- 2 buah angklung pancer

- 2 buah angklung rael

- 2 buah angklung ambrug

- 1 buah angklung engklok

- 1 buah terompet

- 2 buah dogdog lonjor

- 1 buah bedug

- 3 buah terbang

Sementara itu lagu-lagu yang dinyanyikan pada masa itu antara lain lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.

Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh. Gerakan yang ditampilkan saat pertunjukan pada saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.

Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.

Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.

Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.

Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.

Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.

Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.

Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.

Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik nasional.

b. Fungsi Sisingaan
Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, waditra, busana, dan fungsi sisingaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.

Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan tamu terhormat, dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif berdasarkan permintaan.

c. Pertunjukan atau Penyajian Sisingaan
Secara geografis Kabupaten terbagi menjadi tiga kondisi wilayah yakni wilayah pegunungan (tonggoh), wilayah dataran rendah (tengah), dan wilayah pantai (hilir). Secara mendasar letak geografis tersebut berpengaruh terhadap perkembangan kesenian sisingaan. Hal ini dapat dilihat pada penampilan sisingaan dari tiga daerah tersebut, sisingaan dari daerah pegunungan (tonggoh) dan wilayah dataran (tengah) banyak memiliki kesamaan baik unsur tari, unsur waditra, maupun patung sisingaannya. Namun kalau memperhatikan sisingaan hilir, ketiga unsur tersebut sudah banyak mengalami perubahan. Hal tersebut karena adanya pengaruh masyarakat yang sudah majemuk, sehingga pola pikir masyarakat pesisir lebih terbuka dalam menerima masuknya kebudayaan luar.

Kesenian sisingaan merupakan bentuk ekspresi jiwa masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis alam, hasrat, dan emosi. Hal tersebut berkaitan erat dengan unsur sisingaan yang terdiri dari unsur tari (koreografi), unsur waditra (karawitan), dan sinden (juru kawih), serta unsur seni rupa dan busana pengusung.

d. Unsur Tari
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:

1. Naekeun, yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan antara lain, pasang yaitu bersiap dan memasang kuda-kuda pada saat sisingaan berada di pundak. Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari. Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri. Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian. Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala. Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan tendangan. Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.

2. Helaran, yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan. Dalam kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu unsur yang harus dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan. Pada saat helaran para pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga kekompakan, saling memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung lainnya. Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik. Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus. Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal. Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.

3. Atraksi/demonstrasi, merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik. Dengan demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan ini. Gerak dan tari yang ditampilkan dalam atraksi/demonstrasi antara lain: bubuka gebrag, yakni membuka gerakan dengan cara meloncat dan menggebrak sambil mengangkat sisingaan. Gobyog, yakni gerak naik turun sisingaan, kemudian berlari. Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat. Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang. Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos. Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup. Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif. Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.

e. Unsur Waditra (karawitan) dan Sinden (Juru Kawih)
Unsur waditra atau karawitan yang digunakan dalam sisingaan semakin berkembang, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik. Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.

Waditra yang dipergunakan antara lain:

1. Satu buah gendang indung yang berfungsi untuk memberikan tekanan irama musik.

2. Satu buah gendang kemprang yang berfungsi untuk mengatur irama musik.

3. Dua buah kulanter yang berfungsi untuk mengatur tempo dan satu lagi dipukul diakhir kenongan.

4. Satu buah goong yang berfungsi untuk mengakhiri wiletan.

5. Satu buah kempul yang berfungsi untuk mengisi irama.

6. Tiga buah bonang atau ketuk yang berfungsi untuk mengisi ketukan.

7. Satu buah terompet yang berfungsi sebagai melodi dan mewakili lagu.

8. Satu buah kecrek berfungsi untuk mempertegas tekanan irama.

Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi yang membawakan lagu dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen, kulu-kulu sadunya, gondang.

f. Unsur Seni Rupa dan Busana Pengusung

Unsur seni rupa yang terdapat pada sisingaan semakin hari semakin berkembang, ke arah yang lebih baik, baik dari ukuran maupun bentuknya. Misalnya dalam hal bentuk muka sisingaan, sudah semakin mirip dengan bentuk singa asli, karena bagian muka tersebut dibalut atau ditempel dengan bahan berbulu. Mimik muka juga dibikin semirip mungkin, dengan mulut terbuka seperti singa hendak menerkam mangsa, dengan memperlihatkan taringnya yang tajam. Pewarnaan menggunakan cat juga semakin cemerlang dan menarik.

Sedangkan rambut sisingaan terbuat dari bahan yang mirip dengan bulu singa, baik warna maupun jenis bahannya. Begitu juga dengan badan sisingaan yang sudah menggunakan bahan yang ringan dan kuat serta berbulu seperti singa. Posisi kaki juga sangat bervariasi ada yang seperti berjalan, berdiri biasa, dan ada yang seperti mau menerjang.

Selain itu perubahan juga pada pakaian pengusung dan penabuh alat karawitan. Pada masa lalu busana pemain sangat sederhana, dan tidak seragam. sementara saat ini pakaian sudah diperhitungkan nilai estetisnya, seperti pada baju kampret, celana pangsi, iket, ikat pinggang, sepatu, kaos kaki.

(BPSNT Bandung)

0 komentar:

Posting Komentar